Minggu, 10 Agustus 2014

Upacara Adat Jawa

Jenis Jenis Upacara Adat Jawa

1. Lamaran


Melamar artinya meminang, karena pada zaman dulu di antara pria dan wanita yang akan menikah kadang-kadang masih belum saling mengenal, jadi hal ini orang tualah yang mencarikan jodoh dengan cara menanyakan kepada seseorang apakah puterinya sudah atau belum mempunyai calon suami. Dari sini bisa dirembug hari baik untuk menerima lamaran atas persetujuan bersama. Melamar juga memiliki arti seperti berikut tahapan pertama yang harus dilalui dalam suatu pernikahan yang umumnya dilakukan oleh kaum pria untuk menyampaikan niat dan kesungguhannya untuk menikah serta meminta restu dan persetujuan dari orang tua wanita yang akan dinikahi.

·         Pada hari yang telah ditetapkan, datanglah utusan dari calon besan yaitu orang tua calon pengantin pria dengan membawa oleh-oleh. Pada zaman dulu yang lazim disebut Jodang ( tempat makanan dan lain sebagainya ) yang dipikul oleh empat orang pria.

·         Makanan tersebut biasanya terbuat dari beras ketan antara lain : Jadah, wajik, rengginan dan sebagainya.

·         Menurut naluri makanan tersebut mengandung makna sebagaimana sifat dari bahan baku ketan yang banyak glutennya sehingga lengket dan diharapkan kelak kedua pengantin dan antar besan tetap lengket (pliket,Jawa).

·         Setelah lamaran diterima kemudian kedua belah pihak merundingkan hari baik untuk melaksanakan upacara peningsetan. Banyak keluarga Jawa masih melestarikan sistem pemilihan hari pasaran pancawara dalam menentukan hari baik untuk upacara peningsetan dan hari ijab pernikahan.

Peningsetan Kata peningsetan adalah dari kata dasar singset (Jawa) yang berarti ikat, peningsetan jadi berarti pengikat.

Peningsetan adalah suatu upacara penyerahan sesuatu sebagai pengikat dari orang tua pihak pengantin pria kepada pihak calon pengantin putri.

Menurut tradisi peningset terdiri dari : Kain batik, bahan kebaya, semekan, perhiasan emas, uang yang lazim disebut tukon (imbalan) disesuaikan kemampuan ekonominya, jodang yang berisi: jadah, wajik, rengginan, gula, teh, pisang raja satu tangkep, lauk pauk dan satu jenjang kelapa yang dipikul tersendiri, satu jodoh ayam hidup. Untuk menyambut kedatangan ini diiringi dengan gending Nala Ganjur .

Biasanya penentuan hari baik pernikahan ditentukan bersama antara kedua pihak setelah upacara peningsetan.

Melamar dibagi dalam 3 kategori lamaran yaiutu :

 a. Lamaran Informal

Dalam hal ini calon mempelai pria datang ke rumah orang tua calon mempelai wanita sendiri dan menyatakan keseriusan, kesiapan ( ekonomi ), niat dan tekad yang tulus untuk menikahi calon mempelai wanita dengan kesungguhan cinta dan agama. Disini Calon mempelai Pria kemudian membicarakan dan meminta konfirmasi waktu (jam, hari dan tanggal) kepada orang tua calon mempelai wanita untuk melaksanakan Lamaran Semi Formal selanjutnya.


b.  Lamaran Semi Formal ( Tembungan )

Menggelar acara ini Calon mempelai Pria datang ( sesuai konfirmasi waktu yang telah ditentukan sebelumnya ) dengan didampingi oleh kedua orang tua, kerabat dan saudara-saudara ( dalam hal ini, bisa hanya saudara / kakak laki laki/ orang yang dituakan dalam adat jika kedua orang tua sudah meninggal). Kemudian Orangtua dari Calon mempelai Pria menanyakan apakah putri tersebut ( Calon Mempelai Wanita) belum mempunyai/ tidak mempunyai suami untuk dijadikan istri dan menantunya kepada Orangtua Calon mempelai Wanita. Setelah mendapat jawaban dari Orang tua Calon mempelai wanita bahwa Putri tersebut belum/tidak mempunyai suami kemudian ditentukan waktu ( jam, hari dan tanggal ) Pernikahan. Biasanya Waktu pernikahan ( Hari Pernikahan ) dihitung dan ditentukan selanjutnya, supaya tidak terjadi salah paham antara kedua belah pihak. Adapula, penentuan Hari Pernikahan digelar lagiAcara Balasan Lamaran yaitu Orangtua mempelai Wanita datang bersilaturahmi ke rumah Orangtua Pria bersama kerabat dan saudara-saudaranya untuk memberitahukan jawaban dan tanggal pernikahan. Dalam menggelar acara - acara tersebut biasanya ada perjamuan makan ( kalo jaman dulu tidak ada makan besar , hanya makanan kecil sebagai camilan karena lamaran belum tentu diterima). Ada juga Lamaran semi Formal ini diadakan Tukar Cincin (Tunangan), yang berarti pengikatan hubungan antara kedua Calon mempelai sebelum melaksanakan Prosesi Pernikahan supaya tidak ada Pria lain yang datang melamar. Acara Lamaran dan Acara Balasan Lamaran biasanya membawa oleh-oleh berupa ; beras ketan / lemper / wajik / jenang sebagai simbol/lambang yang harapannya agar kedua Pihak lengket, lauk pauk, gula , teh, kopi. Ada juga sekarang yang bawa oleh-oleh roti dan juga buah-buahan. Dalam Acara lamaran ini biasanya tidak diikuti oleh orang banyak, hanya keluarga inti dan kerabat dekat saja.


c.  Lamaran Formal ( Peningsetan )

Setelah terjadi kesepakatan Hari Pernikahan, digelar acara Lamaran Formal yang diadakan malam menjelang pernikahan ( Ijab qobul ) atau beberapa saat sebelum acara pernikahan ( Ijab Qobul ) dimulai. Dalam menggelar acara Lamaran ini biasanya disaksikan oleh orang tua, aparat desa setempat, kerabat, saudara-saudara dan tetangga dari kedua belah pihak. Prosesi Lamaran Formal ini dari Pihak Calon Mempelai Pria membawa barang bawaan yang biasa kita sebut hantaran atau seserahan sebagai tanda keseriusan untuk membina rumah tangga kepada Pihak Calon Mempelai Wanita. Hantaran atau seserahan atau Peningset (Jawa ) adalah sejumlah barang kebutuhan Mempelai Wanita ( atau apa yang diminta Mempelai Wanita ) yang menunjukan kemampuan Pria untuk membahagiakan Calon mempelai wanita dan bisa juga sebagai paket syarat pernikahan . Masing-masing barang hantaran merupakan simbol, dan ada makna / arti tersendiri menurut adat istiadat masing - masing daerah. Jumlah barang Hantaran tidak ditentukan tergantung kemampuan Pria. Kemasan barang-barang hantaran sangat beragam yang penting rapi, bagus dan menarik, bahkan ada pula yang unik. Dalam hantaran ini jika ada Pelangkah (Sesuatu atau barang yang diminta oleh kakak calon mempelai wanita/pria yang belum menikah ) harus dibawa serta, sebagai simbol / lambang menghormati kakak, mendahului kakak, dan kakak tersebut menyetujui. 

Adapun pernik-pernik hantaran / Peningset Adat Jawa Tengah biasanya adalah sebagai berikut ;
  1. Cincin kawin
  2. Seperangkat Alat Sholat ( Islam )
  3. Sejumlah Uang
  4. Pakaian dan sepatu/ sandal
  5. Bahan kebaya, tas pesta dan sepatu pesta
  6. Kain ( adat Jawa : jarik ) untuk mempelai wanita
  7. Kosmetik
  8. Seperangkat perlengkapan mandi
  9. Buah-buahan
10. Sanggan ( Pisang Raja )
11. Roti
12. Makanan Khas ( Lemper, Jenang dll )
13. Ayam jago
14. Gula dan teh
15. Beras

- Jika nenek / kakek masih ada diwajibkan bawa Kain ( jarik ) kalo dalam bahasa Jawa disebut Pesing.
- Jika ada kakak yang belum menikah dibawakan juga Pelangkah- nya.

Semua ini tergantung kemampuan Pria, tidak membawapun tidak apa-apa , asal Pihak wanita menerima apa adanya, semua pasti lancar, asal yakin dan selalu berdoa pada Tuhan... Tapi kalo gak bawa apa - apa ya... kebangetan he..he..he..
Jika Acara lamaran ini sudah selesai,  maka siap untuk menggelar acara selanjutnya, yakni ijab Qobul dan Pesta Pernikahan. Semoga Sukses.

2. Siraman

 

 

 

Satu hari sebelum upacara ijab, dilaksanakan upacara siraman. Kata siraman berasal dari Kata siram yang berarti mandi. Siraman mengandung arti rnemandikan calon pengantin yang disertai dengan niat membersihkan diri agar menjadi bersih dan murni/suci lahir batin. Pada zaman dulu  upacara siraman selalu dilaksanakan pada pagi hari antara pukul 10.00 sampai pukul 11.00.  Dewasa ini upacara siraman biasanya dilaksanakan pada sore hari, sekitar pukul 16.00 karena dapat langsung dilanjutkan dengan upacara midadareni.
Upacara siraman biasanya dilakukan oleh para pinisepuh atau orang-orang yang telah tua dan dituakan,  terutama orang yang telah mempunyai cucu atau setidak-tidaknya orang tua yang telah berputra dan mempunyai budi perilaku yang dapat dijadikan teladan karena akan diminta berkahnya.

Untuk upacara siraman sebetulnya jumlah orang yang akan memandikan tidak dibatasi, semakin banyak semakin baik asal jumlahnya ganjil. Namun untuk menjaga agar calon pengatin tidak kedinginan maka jumlah orang yang akan memandikan ditetapkan pitu (tujuh orang) yang berarti pitulungan. Siraman ini akan diakhiri oleh juru rias atau sesepuh (orang yang dituakan) dengan memecah kendi/klenthing dari tanah liat.
Perlengkapan  dan Sajen Upacara Siraman
Perlengkapan  yang perlu disediakan dalam upacara siraman terdiri atas:                                                                
a.    Air dari sumber
       Air bersih dari sumber dipakai untuk memandikan calon pengantin agar menjadi murni/suci dan bersih lahir batin. Hal ini merupakan persiapan untuk menyambut kedatangan sang bidadari yang akan turun  dari kahyangan (surga) untuk memberkan doa restu dan ikut mempercantik putrinya yang akan melangsungkan pernikahan.


b.    Kembang Setaman (bunga sritaman)
            Kembang setaman merupakan bunga-bunga yang tumbuh di taman seperti mawar, melati, kanthil dan kenangan. Bunga-bunga ini ditaburkan ke dalam air yang akan dipakai untuk supaya menjadi harum.


c.    Konyoh Manca Warna
            Konyoh merupakan lulur/bedak basah yang dibuat dari tepung beras dan kencur serta bahan pewarna. Manca atau panca (lima) warna (warna maksudnya lima macam warna. Jadi Konyoh Manca Warna artinya lulur yang terdiri dari lima macam warna, meliputi merah, kuning, hijau, biru dan putih. Konyoh ini berfungsi sebagai sabun yang dapat menghaluskan tubuh,


d.    Landha merang, santan kanil, air asem
            Landha merang (abu merang yang direndam dalam air) yang berfungsi sebagai shampo, sanatan kanil (air perasan parutan kelapa yang kental) yang berfungsi untuk menghitamkan rambut dan air asem digunakan sebagai conditioner. Apabila ingin praktis dapat diganti dcngan shampo dan conditioner yang banyak dijual di pasaran.


e.    Dua butir kelapa yang sudah tua
            Kedua kelapa   ini sebagian sabutnya diikat menjadi satu dan dimasukkan ke dalam air yang sudah ditaburi kembang setaman.


f.    Alas Duduk

  • Alas duduk calon pengantin dalam upacara siraman terdiri dari:

  • ­    Klasa bangka, yaitu tikar berukuran sekitar setengah meter persegi yang terbuat dari  pandan

  • ­    Sehelai mori(kain putih) dan sehelai kain.

  • ­    Daun-daunan yang terdiri dari daun kluwih, daun kara, daun apo-apo. daun awar-awar daun turi, daun dhadhap srep, alang-alang, dan duri kemarung.

  • ­    Dlingo bengle

  • ­    Empat macam kain motif bango tulak, yaitu kain yang tengahnya berwarna putih dan tepinya berwarna tua yaitu biru tua, kunjng, hijau, dan merah.

  • ­    Sehelai  kain motif yuyu sekandang, yaitu kain lurik tenun berwarna coklat bergaris-garis berwarna kuning.

  • ­    Sehelai kain motif pulo watu, yaitu kain lurik berwarna putih berlerek/bergaris hitam.

  • ­    Sehelai kain letrek berwarna kuning

  • ­    Sehelai kain jingga atau berwarna merah tua.

g.    Sehelai mori berukuran dua meter Kain putih palos ini dikenakan pada saat upacara siraman dan kain batik untuk alas sebelum memakai mori.


h.    Sehelai kain motif grompol dan sehelai kain motif nagasar Kain motif rompol dan nagasari ini bisa diganti dengan motif Iain yang juga bermakna positif (baik), misalnya: motif sidamukti, sidaasih, semen raja, semen rama, sidaluhur.


i.    Sabun dan handuk Dimaksudkan untuk membersihkan dan mengeringkan badan.


j.    Kendhi atau klenthing Kendi ini berisi air bersih yang digunakan untuk menutup dan mengakhiri upacara siraman.


k.   Sajen Siraman

    Sajen siraman meliputi :

  • ­    Tumpeng  robyong

  • ­    Tumpeng  gundhul

  • ­    Dahar asrep-asrepen

  • ­    Satu sisir pisang raja dan satu sisir pisang pulut masing-masing berjumlah genap.

  • ­    Buah-buahan lengkap (pala gumantung, pala kependem direbus, dan pala kesampar).

  • ­    Empluk-empluk diisi bumbu dapur lengkap

  • ­    Satu butir telur ayam karnpung

  • ­    Satu butir kelapa yang sudah dikupas

  • ­    Satu tangkep (tangkup) gula kelapa

  • ­    Juplak/damar/pelita, sama dengan sajen tarub

  • ­    Kembang telon (kanthil, melati, kenanga)

  • ­    Tujuh macam   jenang-jenangan

  • ­    Jadah jenang dodol, wajik, kacang tanah yang masih ada kulitnya direbus

  • ­    Satu ekor  ayam jantan.

Ayam jantan  sebagai syarat Sajen siraman dan kerik ini setelah selesai dapat diberikan kepada periasnya


Pelaksanaan Upacara Siraman
Upacara Siraman yang berlaku untuk calon pengantin pria dan wanita (pelaksanaannya di rumah masing-masing) ini merupakan suatu lambang dan harapan agar calon pengantin menjadi suci, bersih dan bercahaya. Perlengkapan yang rnenyertai rangkaian upacara siraman juga merupakan suatu lambang yang masing-masing mempunyai makna yang sangat mendalam. Misalnya bunga Sritaman yang ditaburkan ke dalam air yang akan dipakai untuk siraman mengandung arti agar keharuman yang dimiliki bunga siraman tersebut akan meresap ke tubuh calon pengantin hingga menjadi harum tubuhnya dan kelak dapat membawa keharuman nama keluarga di tengah masyarakat. Sedangkan konyoh manca warna: mengandung arti bahwa dengan lima macam Konyoh yang digosok-gosokkan ke tubuh pada saat siraman maka diharapkan bermacam-macam cahaya bersinar menjadi satu dan meresap kc dalam tubuh calon pengantin sehingga tampak antik dan mempesona. Sementara dun butir kelapa Hijau tua yang diikat menjadi satu mengandung makna agar kelak kedua mempelai selalu hidup rukun dan tetap hidup berdampingan sampai akhir hayat atau hidup rukun sampai kaken-kuken ninen-ninen.

Adapun upacara siraman sebagai berikut:

Bunga sritaman ditaburkan ke dalam bak air. Air yang dipakai untuk siraman dapat berupa air dingin tetapi dapat pula diganti dengan air hangar agar sang calon pengantin tidak kedinginan. Air tersebut dapat dimasukkan ke dalam pengaron (bejana dari tanah liat sebagai tcmpat untuk mcnampung air). Selanjutnya dua butir kelapa yang masih ada sabutnya diikat menjadi satu lalu dimasukkan ke dalam air tersebut.

  1. Calon pengantin yang telah mengenakan busana siraman dcngan alas kain dan bagian luar memakai kain putih (mori), dcngan rambut terurai, dijemput oleh orang tua dari kamar pengantin dan dibimbing ke tempat upacara siraman. Di belakang mereka mengiringi para pinisepuh serta petugas yang membawa baki berisi seperangkat kain yang terdiri dari sehelai kain motif grompol, sehelai kain motif nagasari, handuk dan pcdupan. Seperangkat kain dan handuk tersebut digunakan setelah upacara siraman selesai. Setelah sampai di tempat upacara  calon pengantin dibimbing dan dipcrsilahkan duduk di tempat yang telah disediakan oleh kedua orang tua.                                                                                                                                

  2. Setelah diawali dcngan doa menurut kepercayaan masing-masing, orang tua calon pengantin mengawali mengguyur atau menyiram calon pengantin dcngan air bersih dari pengaron yang telah ditaburi bunga siraman dan berisi dua butir kelapa hijau yang digandeng. Orang tua calon pengantin yang lebih dahulu mengguyur adalah ayah, kemudian ibu. Pada saat mengguyur sebaiknya diiringi doa yang diucapkan dalam hati Pada saat mengguyur diiringi menggosokkan konyoh manca warna dan landha merang; kemudian diakhiri dcngan guyuran tiga kali.                                                                                                                                                                               

  3. Upacara Siraman ini diakhiri dan ditutup oleh juru paes atau bisa juga oleh sesepuh yang ditunjuk. Cara mengakhiri upacara ini sebagai berikut:

·         ­Pertama-tama juru paes/sesepuh mencuci rambut dcngan Landha merang, santan kanji dan air asem (sebagai conditioner) serta menggosok-gosokkan konyoh manca warna ke seluruh tubuh dan memandikannya sampai sungguh-sungguh bersih. Setelah bersih calon­    pengantin meletakkan kedua tangannya di depan dada dcngan sikap nyadhong donga (memohon dalam doa) dan juru paes menuangkan air kendi agar digunakan untuk berkumur. Hal ini dilakukan tiga kali.

·         ­Selanjutnya juru paes mcngguyurkan air kendi ke kepala calon pengantin tiga kali.

·         ­Kemudian  air kendi dituangkan lagi untuk membersihkan wajah, telinga, leher, tangan dan kakai.  Masing-masing dilakukan tiga kali, sampai air kendi habis.

·         ­Setelah kendi tersebut kosong, selanjutnya juru paes/scscpuh mengucapkan kata-kata: Wis Pecah pamorc (sudah berakhir masa remajanya) sambil memecah kendi di depan calon pengantin dan disaksikan oleh orang tua dan para pinisepuh.


Setelah upacara tersebut berakhir calon pengantin berganti dcngan mengenakan kain motif Grompol dan menutup badan dcngan kain motif nagasari. Selanjutnya dibimbing oleh kedua orang tua dan diiringi para pinisepuh menuju ke kamar pengantin. Kedua kain motif grompol dan motif nagasari tersebut dapat diganti dcngan motif lain yang mempunyai makna baik. Pada zaman dulu upacara siraman dilaksanakan di kamar mandi, sedangkan sekarang bisa dilaksanakan di tempat lain yang dirancang dihias secara khusus.


3. Temu Manten

 

 

 

Hubungan cinta kasih wanita dengan pria, setelah melalui proses dan pertimbangan , biasanya dimantapkan dalam sebuah tali perkawinan, hubungan dan hidup bersama secara  resmi  selaku suami istri dari segi hukum, agama dan adat.

Di Jawa seperti juga ditempat  lain, pada prinsipnya perkawinan terjadi karena  keputusan dua insan yang saling jatuh cinta.Itu merupakan hal yang prinsip. Meski ada juga perkawinan yang terjadi karena dijodohkan orang tua yang terjadi dimasa lalu.Sementara orang-orang tua zaman dulu berkilah melalui pepatah : Witing tresno jalaran soko kulino, artinya : Cinta tumbuh karena terbiasa.

Di Jawa dimana kehidupan kekeluargaan masih kuat, sebuah perkawinan tentu akan mempertemukan dua buah keluarga besar. Oleh karena itu, sesuai kebiasaan yang berlaku, kedua insan yang berkasihan  akan memberitahu keluarga masing-masing bahwa mereka telah menemukan pasangan yang cocok dan ideal untuk dijadikan suami/istrinya.

Perkawinan merupakan hak dan sunnah kehidupan yang harus dilalui oleh seseorang dalam kehidupan "normalnya". Setiap manusia dewasa yang sehat secara jasmani dan rohani pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis kelaminnya. Teman hidup itu diharapkan dapat memenuhi hasrat biologisnya, dapat dikasihi dan mengasihi, serta dapat diajak bekerja sama mewujudkan sebuah rumah tangga yang tentram, dan sejahtera.
Dalam Bahasa Arab perkawinan disebut dengan nikah yang berarti berkumpul menjadi satu. Karena itu nikah secara istilah seringkali diartikan sebagai suatu aqad yang berisi pembolehan melakukan hubungan seksual dengan menggunakan lafal inkahin (menikahkan) atau tazwijin (mengawinkan) (Rasjid: 2004, 174). Peristiwa hukum berupa pernikahan dalam agama Islam dianjurkan dengan berbagai bentuk, mulai penyebutan sebagai sunnah para nabi dan rasul yang harus diikuti oleh setiap insan beriman atau sebagai bentuk ayat (tanda-tanda) kebesaran Allah.

Diantara bukti telah sahnya sebuah hubungan perkawinan adalah diselenggarakannya acara resepsi perkawinan atau walimah. Pesta perkawinan ini mengambil bentuk atau formatnya sendiri yang berbeda-beda di setiap daerah. Di Ponorogo, yang paling populer adalah resepsi perkawinan yang menggabungkan budaya jawa dan Islam sekaligus sebagai bukti telah terjadinya “dialog budaya”, adaptasi, dan akulturasi (peleburan) di dalamnya. 

Pembahasan tentang resepsi perkawinan di Ponorogo dapat dianggap penting mengingat belum pernah dilakukannya penelitian tentang hal ini disamping terjadinya perkembangan dan dinamika dalam penyelenggaraan resepsi perkawinan adalah fenomena menarik untuk dicermati. Pembahasan difokuskan pada resepsi perkawinan model Islam-Jawa terutama pada acara Panggih/Temu Temanten, dinamika bentuk resepsi, hiasan, simbol-simbol yang digunakan serta pemaknaan terhadap semua hal yang berkaitan dengannya. 

Panggih Temanten atau temu manten dalam perkawinan dengan adat Jawa-Islam memiliki “pakem” tertentu baik dalam ritual adat, susunan acara resepsi, maupun hiasan dan simbol yang digunakan. Dalam perkembangan terakhir didapati adanya upaya penyesuaian terhadap kemajuan zaman dan efisiensi waktu dalam penyelenggaraan.

Penyederhanaan ritual adat dilakukan dengan “pemangkasan” ritual. Sedangkan penyederhanaan dalam resepsi dilakukan dengan penggabungan antara beberapa acara seperti atur mangayu bagya (sambutan selamat datang) dengan atur panampi menjadi satu acara .

Simbol-simbol dan hiasan perkawinan yang kaya makna juga mengalami hal yang sama. Penyesuaian terhadap mode dan efisiensi acara turut mempengaruhi penampilannya. Disamping itu upaya islamisasi turut mempengaruhi pemaknaan dengan sudut pandang berbeda disamping juga menghadirkan paduan baru dalam bentuk dan corak. 

Makna dalam simbol-simbol dan hiasan dalam perkawinan adalah kekayaan budaya yang memberikan banyak pelajaran hidup. Upaya untuk menggali dan mensosialisasikannya merupakan hal urgen untuk melestarikan budaya tersebut. Upaya-upaya kontemporer untuk menyederhakan ritual dan resepsi pernikahan juga akan tidak menjadi lepas sekaligus begitu saja meninggalkan budaya ini jika makna-makna tersebut dipahami dan tersosialisasi dengan baik. Wallahu a’lam.


4. Bubak Kawah


Ayah pengantin putri, sesudah upacara Panggih, minum rujak degan/ kelapa muda didepan krobongan. Istrinya bertanya :  Bagaimana Pak rasanya? Dijawab :  Wah segar sekali, semoga orang serumah juga segar. Lalu istrinya ikut mencicipi minuman tersebut sedikit dari gelas yang sama, diikuti anak menantu dan terakhir pengantin wanita. Ini merupakan perlambang permohonan supaya pengantin segera dikaruniai keturunan.

1. Pengertian

          Secara bahasa Bubak berarti mbukak ( membuka ), kawah artinya adalah air yang keluar sebelum kelahiran bayi, sedang secara istilah bubak kawah berarti : membuka jalan mantu atau mantu yang pertama ( Poerwadarminta, 1939 : 51 & Sudaryanto & Pranowo, 2001 : 123 ). Sutawijawa dan Yatmana ( 1990 : 25 ) menyatakan bahwa bubak kawah adalah upacara adat yang dilaksanakan ketika orang tua mantu pertama atau terakhir, mantu pertama disebut tumpak punjen, sedang mantu terakhir disebut tumplak punjen.

           Dan Drs. Suwarna Pringgawidagda, M.Pd. menyimpulkan dari kedua pendapat tersebut : bahwa bubak kawah adalah upacara adat yang dilaksanakan ketika orang tua mantu pertama, khusus untuk pengantin jaka lara ( perjaka-gadis ) pada mantu yang pertama ( tidak harus mantu anak sulung ). ( Tata Upacara dan Wicara, Acara-acara Khusus Bab 10, Kanisius 2006 : 276 ).

2. Tujuan dan makna

Beberapa tujuan dari pada upacara bubak kawah ini adalah sebagai berikut :

·         Pernyataan syukur kepada Tuhan YME, bahwa telah dapat mengawali mantu.

·         Permohonan kepada Tuhan agar pengantin diberikan kekuatan, kesegaran jasmani dan rohani, ayem tentrem.

·         Harapan agar pengantin di karuniai anak.

·         Menunjukan tanggung jawab orang tua terhadap putrinya, walaupun susah payah untuk melaksanakan perhelatan, tetapi badan dan pikiran tetap segar bugar seperti segarnya rujak degan yang di sajikan.

·         Menunjukan kepada kerabat tamu bahwa ini perhelatan mantu yang pertama.


3. Pelaksanaan

Setelah panggih, pengantin berjalan menuju ke pelaminan untuk duduk bersanding :

·         Pengantin duduk berdua di pelaminan.

·         Bapak – ibu mengambil rujak degan dan rujak tape.

·         Bapak terlebih dahulu mencicipi rujak degan dan rujak tape, kemudian ibu, ketika bapak minum rujak degan dan rujak tape ada dialog singkat sebagai berikut :

Ibu      : “ Pak,, kepiye mungguh rasane rujak degan lan rujak tape..??”

            ( “ Pak..bagaimana rasa rujak kelapa muda dan rujak tapenya..? )

Bapak : “ Bu..Rasane seger sumyah, muga-muga warata sak omah..! “

   ( “ Bu..Rasanya sangat segar, semoga merata bagi seluruh anggota   keluarga.! )

·         Kemudian ibu mencicipi rujak degan dan rujak tape.

·         Ibu dan bapak menghampiri pengantin, kemudian ibu menyuapi rujak degan dan rujak tape kepada mempelai berdua.

·         Setelah selesai, bapak ibu kembali ke tempat duduk.

·         Kemudian di lanjutkan acara tanpa kaya, dhahar klimah, ngunjuk toya wening, mapag besan dan sungkeman.


5. Tumplak Punjen

 

 

Tumplak punjen atau tumpak punjen adalah salah satu dari rangkaian prosesi upacara pernikahan adat Jawa. Tumplak berarti menuang, punjen berarti pundi-pundi atau hasil dari usaha yang dikumpulkan. Acara tumplak punjen ini dilakukan orang tua hanya pada pernikahan terakhir anaknya, dalam hal ini tidak harus si bungsu. Cekaking atur bilih upacara TUMPLAK PUNJEN punika satunggaling kabudayan Jawi ingkang adi luhung, liripun upacara punika mengku sasmita, antawisipun.

a.       Dados srana donga pamuji atur panuwun wonten ngarsa Dalem Pangeran

b.      Dados srana nelakaken raos bingahing manah, awit saged nuntasaken tugas lan kewajiban jejering tiyang sepuh ( saged peputra, lan saged nggulawenthah,lan mala kramakaken para putra )

c.       Dados srana anggenipun saged mbagi kabingahan dumateng para putra tuwin para kadang kinasih, inggih sedherek lan tangga tepalih

d.      Dados srana pangajabing tiyang sepuh,.mligi kangge para putra wayah, kanthi mbagi udhik-udhik

e.       Tumrap para putra wayah dados srana anggenipun sami nelakaken raos bingah bilih rama ibu kaparingan panjang yuswa

Dalam khasanah budaya Jawa, orang tua mempunyai tugas atau kewajiban yang harus dilaksanakan kepada anaknya. Pertama kali adalah memberikan nama pada anak. Dalam filosofi Jawa ada ungkapan asma kinaryo japa (nama membawa makna/doa). Orang tua menaruh harapan pada anaknya lewat nama atau doa untuk anaknya. Menilik dari pengertian tadi maka ungkapan Shakespere tentang apalah arti sebuah nama jelas tidak berlaku pada masyarakat Jawa. Kedua adalah nggulawentah atau mendidik. Orang tua harus membekali anak dengan kaweruh (knowledge) dansubasita (attitude) yang baik serta berguna sebagai pedoman untuk berkehidupan dalam masyarakat. Ketiga adalah ngemah-emahake atau menikahkan. Setelah si anak menginjak  dewasa dan dirasa sudah cukup pengetahuannya tentang hidup maka orang tua harus mencarikan jodoh yang baik untuk si anak tersebut berdasarkan bibit, bebet, dan bobot-nya. Dalam hal ini si anak juga bisa mencari calon pasangannya sendiri.

Di saat orang tua melangsungkan pernikahan anaknya yang terakhir inilah upacaratumplak punjen dilakukan sebagai tanda telah selesainya kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya. Punjen secara simbolis diwujudkan dengan bunkusan berisi uang (jumlah bungkusan disesuaikan dengan jumlah anak, menantu, cucu serta buyutdan seterusnya), beras  kuning, bumbu dapur atau rempah-rempah, dan sejumlah uang logam. Punjen adalah simbol dari harta benda hasil jerih payah orang tua dari sejak berumah tangga dulu.

Acara ini dimulai dengan memanggil seluruh anaknya urut dari yang tertua sampai terakhir yang diikuti keluarganya masing-masing. Kemudian orang tua secara berurutan memberikan bungkusan-bungkusan tadi kepada anak, menantu dan keturunannya. Ini adalah teladan orang tua kepada anak-anaknya tentang nilai kerelaan, tidak suka merebut hak orang lain dan, bahwa semua hasil jerih payahnya diberikan dengan adil agar anak keturunannya memahami panduming dumadi, yakni manusia hidup di dunia sudah ada yang mengatur semua. Sebagai orang tua kini mereka sudah tidak memerlukan lagi hal-hal yang bersifat keduniawian dan berniat ingin lebih khusuk lagi menembah marang Gusti.

Tumplak punjen adalah bentuk wejangan (nasehat) orang tua kepada anak keturunannya agar dalam menjalani hidup berkeluarga untu selalu; Rajin bekerja agar bisa terkumpul hasilnya dan Amanah, dilambangkan dengan bungkusan pemberian orang tua yaitu hasil jerih payah orang tua. Menjaga Kesehatan, dilambangkan dengan rempah-rempah. Menjaga kebahagiaan, dilambangkan dengan beras kuning.Mempunyai sifat ikhlas, dilambangkan dengan uang receh logam. Tidak merebut hak orang lain dan suka menolong, dilambangkan dengan keseluruhan bungkusan berserta isinya yang tidak disebarkan untuk dijadikan bahan rayahan atau rebutan melainkan dibagikan secara berurutan dan tertib.

Dalam hidup bersosial masyarakat, tumplak punjen juga menjadi kode atau sandi tuan rumah kepada tamu-tamunya yang belum tahu dan berniat mengajak besanan ,bahwa dia sudah tidak mempunyai anak lajang lagi, berharap hal ini bisa diberitahukan pada warga lainnya yang juga belum mengetahuinya.

Selesai sudah tugas sebagai orang tua dan kini mereka akan menjalani kehidupan baru minandhita atau ngadeg pandhita (menanggalkan segala sifat keduniawian untuk menyatukan rasa dengan penciptanya) yaitu  sebagai  tempat ngangsu kaweruh(petunjuk) tentang hidup dan kehidupan bermasyarakat bagi  anak keturunannya nanti.

Pramila tradisi punika satunggal pemut dumateng sok sintena, nalika sami nnampi kanugrahan inggih punika GESANG. Mila ujaring para winasis tradisi adat punika sageda dados tuntunan, totonan, sumrambahipun mligi kagem para putra wayah anggenipun nelakaken kabungahan wekdal semanten.

Pramila wonten ingkang adicara tumplak punjen, tatalaksitaning upacara sarta ubarampe dados lambang ingkang kebaging samudana. Kados:.

1.      Sungkeman para putra, kinarya pratanda anggenipun caos bekti, saha anggenipun ngurmati dumateng rama lan ibunipun

2.      Paringipun anggi-anggi dhumateng para putra, kinarya tanda anggenipun rama-ibu anglintiraken kabingahan lan kabegjanipun

3.      Nyebar udhik-udik kinathi tanda anggenipun tresna asih dumateng para wayah-wayahipun

Yen miturut gotheking ngakathah bilih upacara tumplak punjen ugi dados srana paring pusaka adi, tumusing anggenipun paring sabdatama kados ingkang dipun paringaken Rama Ibu Prop Dr. Bambang Sumiarto  dumateng para putra-putrinipun ing wanci punika, kinanthi candra sengkala , “ARUM ILANG TANPA NETRA”. Ingkang mengku werdi, bilih kasaenan ingkang sampun kawentar, datan wurung badhe ical tanpa lari jer boten linambaran saking telenging manah. Mula lajeng tumusing piweling:

a.       NGLUHURNA MRING AllAHIRA

b.      NGLUHURNA WONG TUWANIRA

c.       AJA LALI MARANG SEDULURIRA

d.      TUMINDAK,TUMANDUK MRIH ARUMING BUDI

e.       JAGANEN JEJEGING KAUTAMAN

( Gesang kedah ngluhuraken Allah, tiyang sepuh, sederekipun sumrambah ing sesami. Tuwin tansah ngupadi jejeging kautaman)

Ubarampe Upacara:

Anggi-anggi punika wujudipun: arta, wujud wiji kados upami uwos / beras, dhele, tholo, kacang ijo lan jagung, sarta kunir ( kaparut), dlingo bengle kairis-iris, lan sekar setaman. ingkang dipun lebetaken kanthong utawi srana sanesipun

Dene anggi-anggi kapilah dados kalih:

1.      ingkang dipun wadhahi kanthong, mligi kagem para putra lan putra mantu, sarta putra ragil ingkang krama wekdal semanten

2.      ingkang dipun wadhahi bokor/cupu , mligi kagem para wayah, sarta ingkang mbetahaken

Tata upacaranipun Tumplak Punjen

Upcara punika dipun tindakaken sasampunipun upacara kacar-kucur dhahar klimah, nanging saderengipun sungkeman manten.

Dene urutanipun inggih punika:

a.       para putra lan putra mantu, sami sowan jengkeng lan sungkem rama ibunipun

b.      yen sampun dipun sungkemi tiyang sepuh lajeng maringi kanthong anggi-anggi wau,

c.       salajengipun tiyang sepuh maringaken dhateng putra ing nembe krama. Ugi lumantar wakil ( putranipun ingkang dipun sepuhaken) maringi sedherek-sedherekipun ingkang sampun  dipun sametakaken

d.      kantun piyambah, maringaken anggi-anggi  kagem para wayah, kanthi cara anggi-anggi ingkang wonten cupu dipun sebaraken, para wayah sami ngrayah. Kanthun piyambah cupu wau lajeng dipun tumplak (dipun kurepaken) kanthi ngendika “WIS RAMPUNG” Dene anggenipun numplak ing jogan sangajenging putra manten lenggah (siniwaka) , Inggih kanthi makaten numplak cupu/bokor dados werdining upacara tumplak punjen

e.       salajengipun nembe methuk besan. Lajeng putra penganten sami sungkem rama ibunipun.


6. Mitoni

 

 

Seperti yang kita mafhum bersama bahwa negeri kita Indonesia merupakan sebuah negeri kepulauan yang tiap pulau terdapat berbagai macam kebudayaan tradisional yang beraneka ragam. Di antara tradisi yang beragam itu kita ingin membahas salah satu upacara adat yang terdapat di Jawa Tengah khususnya Surakarta yang disebut dengan Tingkepan atau Mitoni. Upacara adat Tingkepan atau Mitoni sendiri merupakan sebuah upacara adat yang dilaksanakan untuk memperingati kehamilan pertama ketika kandungan sang ibu hamil tersebut memasuki bulan ke tiga, lima dan puncaknya ke tujuh bulan. Adapun maksud dan tujuan dari digelarnya upacara adat ini adalah untuk mensucikan calon ibu berserta bayi yang di kandungnya, agar selalu sehat segar bugar dalam menanti kelahirannya yang akan datang.

Kronologi singkat dari upacara tingkepan ini sendiri adalah menggelar selametan pada bulan ketiga, lima dan kemudian puncaknya adalah pada bulan ke tujuh sang ibu hamil pun menggelar sebuah prosesi upacara berupa memandikan atau mensucikan calon ibu berserta bayi yang di kandung, agar kelak segar bugar dan selamat dalam menghadapi kelahirannya.

Pertama-tama sang calon ayah dan calon ibu yang akan melakukan upacara Tingkepan duduk untuk menemui tamu undangan yang hadir untuk menyaksikan upacara Tingkepan ini di ruang tamu atau ruang lain yang cukup luas untuk menampung para undangan yang hadir. Setelah semua undangan hadir maka barulah kemudian sang calon ibu dan ayah inipun di bawa keluar untuk melakukan ritual pembuka dari acara tingkepan itu sendiri yakni sungkeman. Sungkeman adalah sebuah prosesi meminta maaf dan meminta restu dengan cara mencium tangan sambil berlutut. Kedua calon ayah dan calon ibu dengan diapit oleh kerabat dekat diantarkan sungkem kepada eyang, bapak dan ibu dari pihak pria, kepada bapak dan ibu dari pihak puteri untuk memohon doa restu. Baru kemudian bersalaman dengan para tamu lainnya.

Setelah acara sungkeman selesai barulah kemudian digelar upacara inti yakni memandikan si calon ibu setelah sebelumnya peralatan upacara tersebut telah dipersiapkan. Alat-alat dan bahan dalam upacara memandikan ini sendiri adalah antara lain bak mandi yang dihias dengan janur sedemikian rupa hingga kelihatan semarak, alas duduk yang terdiri dari klosobongko, daun lima macam antara lain, daun kluwih, daun alang-alang, daun opo-opo, daun dadapserat dan daun nanas. Jajan pasar yang terdiri dari pisang raja, makanan kecil, polo wijo dan polo kependem, tumpeng rombyong yang terdiri dari nasi putih dengan lauk pauknya dan sayuran mentah. Baki berisi busana untuk ganti, antara lain kain sidoluhur; bahan kurasi; kain lurik yuyu sukandang dan morikputih satu potong; bunga telon yang terdiri dari mawar, melati dan kenanga; cengkir gading dan parang serta beberapa kain dan handuk.

Setelah semua bahan lengkap tersedia maka barulah kemudian si calon ibu pun di mandikan. Pertama-tama yang mendapat giliran memandikan biasanya adalah nenek dari pihak pria, nenek dari pihak wanita, dan kemudian barulah secara bergiliran ibu dari pihak pria, ibu dari pihak wanita, para penisepuh yang seluruhnya berjumlah tujuh orang dan kesemuanya dilakukan oleh ibu-ibu. Disamping memandikan, para nenek dan ibu-ibu ini pun diharuskan untuk memberikan doa dan restunya agar kelak calon bayi yang akan dilahirkan dimudahkan keluarnya, memiliki organ tubuh yang sempurna (tidak cacat), dan sebagainya.

Sementara itu, ketika calon ibu dimandikan maka yang dilakukan oleh calon ayah berbeda lagi yakni mempersiapkan diri untuk memecah cengkir (kelapa muda) dengan parang yang telah diberi berbagai hiasan dari janur kelapa. Proses memecah cengkir ini sendiri hanya sekali ayun dan harus langsung terbelah menjadi dua bagian. Maksud dari hanya sekali ayun dan harus langsung terbelah ini sendiri adalah agar kelak ketika istrinya melahirkan sang anak tidak mengalami terlalu banyak kesulitan. Setelah semua upacara itu terlewati, langkah selanjutnya adalah sang calon ayah dan calon ibu yang telah melakukan upacara tersebut pun diiring untuk kembali masuk kamar dan mengganti pakaian untuk kemudian bersiap melakukan upacara selanjutnya yakni memotong janur. Prosesi memotong janur ini sendiri adalah pertama-tama janur yang telah diambil lidinya itu dilingkarkan ke pinggang si calon ibu untuk kemudian dipotong oleh si calon ayah dengan menggunakan keris yang telah dimantrai. Proses memotong ini sama seperti halnya ketika memecah cengkir, sang calon ayah harus memotong putus pada kesempatan pertama.

Setelah selesainya upacara memotong janur ini pun kemudian dilanjutkan dengan upacara berikutnya yakni upacara brojolon atau pelepasan. Upacara brojolan ini sendiri adalah sebuah upacara yang dilakukan oleh calon ibu sebagai semacam simulasi kelahiran. Dalam upacara ini pada kain yang dipakai oleh calon ibu dimasukkan cengkir gading yang bergambar tokoh pewayangan yakni Batara Kamajaya dan Batari Kamaratih. Tugas memasukkan cengkir dilakukan oleh ibu dari pihak wanita dan ibu dari pihak pria bertugas untuk menangkap cengkir tersebut di bawah (antara kaki calon ibu). Ketika cengkir itu berhasil ditangkap maka sang ibu itu pun harus berucap yang jika dibahasa Indonesiakan berbunyi, “Pria ataupun wanita tak masalah. Kalau pria, hendaknya tampan seperti Batara Kamajaya dan kalau putri haruslah cantik layaknya Batari Kamaratih.” Kemudian seperti halnya bayi sungguhan, cengkir yang tadi ditangkap oleh ibu dari pihak pria ini pun di bawa ke kamar untuk ditidurkan di kasur.

Langkah berikutnya yang harus dilakukan oleh calon ibu ini pun harus memakai tujuh perangkat pakaian yang sebelumnya telah disiapkan. Kain-kain tersebut adalah kain khusus dengan motif tertentu yaitu kain wahyutumurun, kain sidomulyo, kain sidoasih, kain sidoluhur, kain satriowibowo, kain sidodrajat, kain tumbarpecah dan kemben liwatan.

·         Pertama, calon ibu mengenakan kain wahyutumurun, yang maksudnya agar mendapatkan wahyu atau rido yang diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.

·         Kedua, calon ibu mengenakan kain sidomulyo, yang maksudnya agar kelak hidupnya mendapatkan kemuliaan.

·         Ketiga, calon ibu mengenakan kain sidoasih, maksudnya agar kelak mendapatkan kasih sayang orang tua, maupun sanak saudara.

·         Keempat, calon ibu mengenakan busana kain sidoluhur, maksud yang terkandung di dalamnya agar kelak dapat menjadi orang yang berbudi luhur.

·         Kelima, calon ibu mengenakan kain satriowibowo, maksudnya agar kelak dapat menjadi satria yang berwibawa.

·         Keenam, calon ibu mengenakan busana kain sidodrajat, terkandung maksud agar kelak bayi yang akan lahir memperoleh pangkat dan derajat yang baik.

·         Ketujuh, calon ibu mengenakan busana kain tumbarpecah dan kemben liwatan yang dimaksudkan agar besok kalau melahirkan depat cepat dan mudah seperti pecahnya ketumbar, sedangkan kemben liwatan diartikan agar kelak dapat menahan rasa sakit pada waktu melahirkan dan segala kerisauan dapat dilalui dengan selamat.

Sambil mengenakan kain-kain itu, ibu-ibu yang bertugas merakit busana bercekap-cakap dengan tamu-tamu lainnya tentang pantas dan tidaknya kain yang dikenakan oleh calon ibu. Kain-kain yang telah dipakai itu tentu saja berserakan dilantai dan karena proses pergantiannya hanya dipelorotkan saja maka kain-kain tersebutpun bertumpuk dengan posisi melingkar layaknya sarang ayam ketika bertelur. Dengan tanpa dirapikan terlebih dahulu kain-kain tersebut kemudian dibawa ke kamar.

Prosesi selanjutnya sekaligus sebagai penutup dari rangkaian prosesi upacara tersebut adalah calon ayah dengan menggunakan busana kain sidomukti, beskap, sabuk bangun tulap dan belankon warna bangun tulip, dan calon ibu dengan mengenakan kain sidomukti kebaya hijau dan kemben banguntulap keluar menuju ruang tengah dimana para tamu berkumpul. Di sini sebagai acara penutup sebelum makan bersama para tamu, terlebih dahulu dilakukan pembacaan doa dengan dipimpin oleh sesepuh untuk kemudian ayah dari pihak pria pun memotong tumpeng untuk diberikan kepada calon bapak dan calon ibu untuk dimakan bersama-sama. Tujuan dari makan timpeng bersama ini sendiri adalah agar kelak anak yang akan lahir dapat rukun pula seperti orang tuanya. Pada waktu makan ditambah lauk burung kepodang dan ikan lele yang sudah digoreng.

Maksudnya agar kelak anak yang akan lahir berkulit kuning dan tampan seperti burung kepodang. Sedangkan ikan lele demaksudkan agar kelak kalau lahir putri kepala bagian belakang rata, supaya kalau dipasang sanggul dapat menempel dengan baik. Usai makan bersama, acara dilanjutkan upacara penjualan rujak untuk para tamu sekaligus merupakan akhir dari seluruh acara tingkepan atau mitoni. Sambil bepamitan, para tamu pulang degan dibekali oleh-oleh, berupa nasi kuning yang ditempatkan di dalam takir pontang dan dialasi dengan layah. Layah adalah piring yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan, takir pontang terbuat dari daun pisang dan janur kuning yang ditutup kertas dan diselipi jarum berwarna kuning keemasan


7.           Tedhak sitèn

 

 

Tedhak sitèn utawa tedhak siti iku salah siji upacara adat Jawa kanggo bocah umur 7 wulan utawa 6 lapan. Upacara iki ing dhaérah liya ing Nuswantara uga ana, contoné sing diarani upacarainjak tanah ing dhaérah Jakarta déning suku Betawi utawa uga ana sing ngarani "mudhun lemah" lan "udhun-udhunan"

Tedhak sitèn iku asalé saka tembung tedhak, idhak utawa mudhun lan sitèn (saka tembung siti) utawa lemah (bumi). Upacara iki kanggo perlambang bocah sing siap-siap njalani urip liwat tuntunanwong tuwa lan diselenggarakaké yèn umur bocah wis 7 selapan utawa 245 dina (7 x 35 = 245).

Sebabe Dianakaké

Upacara Tedhak sitèn dianakaké amarga ana kapitayan masyarakat Jawa yèn lemah kuwi nduwéni makna ghoib lan dijaga Bathara Kala. Kanggo ngindari kadadéyan sing ora becik, mula dianakakéupacara ngenalaké putra-putriné marang Bathara Kala minangka sing njaga lemah. Anggone nglakoni upacara iki, luwih becik miturut weton.

Ubarampé Upacara Tedhak Sitèn

Ubarampé kanggo upacara tedhak sitèn akèh, kayata:

  • Pengaron sing diisi kembang setaman.

  • Kurungan, kanggo nggambaraké yén donyané anak isih sithik utawa ciut.

  • Werna-werna barang sing diséléhaké sajroning kurungan kang nggambaraké suwèné urip, manungsa duwé kawajiban nggolèk "nafkah", kayata:

1.      Pari sabengket

2.      Kapuk sabengket

3.      Piranti nulis

4.      Bokor kang diisi beras kuning

5.      Werna-werna jinis dhuwit

6.      "Perhiasan"

  • Klasa sing isih anyar, kanggo lémèk ning jeroning kurungan.

  • Bakaran pitik, kang nggambaraké pedoman uripé anak.

  • Tangga tebu "rejuna", yaiku tebu sing wernané ungu kang nggambaraké undhak-undhakané urip sing arep dilakoni anak.

  • Jadah pitung werna, yaiku abangputihirengkuningbiruungu lan jambon. Tegesé kanggo ngemutaké anak yén urip kudu waspada saka godaan werna-werna.

  • Bancakan, kayata sega gudhangan sing dibagékake marang para tamu sing teka.

Urutané upacara tedhak sitèn

  • Tedhak jadah pitung warna: yaiku anak mlangkah utawa ngidak jadah pitung warna kang diréwangi ngidak déning ibu, jadah ditata saka warna sing padhang nganti warna sing peteng, iku kabèh perlambang déné urip iku ora gampang nanging kabéh alangan sing dirasakake mengko mesthi bakal ana dalan kang padhang tumuju kamulyan lan kasantosan.

  • Munggah andha tebu arjuna: tebu iku pralambang antebing kalbu, supaya anggoné nitih urip ning donya iki bakal manteb lan tebu arjuna pralambang supaya anak sing munggah tebu iku bisa duwéni solah bawa kaya déné arjuna.

  • Kurungan: kurungan iku pralambang urip ing donya iki, ing jero kurungan diwénéhi akèh dolanan lan ubarampé pagawéan kayata kertasguntingpethèt lan liya liyané, dolanan utawa ubarampé pagawéan sing dipilih déning anak iku kaya tandha bésuk bakal duwéni pagawéan mau.

  • Siraman: kanggo nyucèni raga lan jiwa, muga muga bisa gawa jeneng arum kanggo kaluwarga kayata banyu kembang sing kanggo acara siraman anak mau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar