Jenis Jenis Upacara Adat Jawa
1. Lamaran
Melamar artinya meminang, karena
pada zaman dulu di antara pria dan wanita yang akan menikah kadang-kadang masih
belum saling mengenal, jadi hal ini orang tualah yang mencarikan jodoh dengan
cara menanyakan kepada seseorang apakah puterinya sudah atau belum mempunyai
calon suami. Dari sini bisa dirembug hari baik untuk menerima lamaran atas
persetujuan bersama. Melamar juga memiliki arti seperti berikut tahapan pertama
yang harus dilalui dalam suatu pernikahan yang umumnya dilakukan oleh kaum pria
untuk menyampaikan niat dan kesungguhannya untuk menikah serta meminta restu
dan persetujuan dari orang tua wanita yang akan dinikahi.
·
Pada
hari yang telah ditetapkan, datanglah utusan dari calon besan yaitu orang tua
calon pengantin pria dengan membawa oleh-oleh. Pada zaman dulu yang lazim
disebut Jodang ( tempat makanan dan lain sebagainya ) yang dipikul oleh empat
orang pria.
·
Makanan
tersebut biasanya terbuat dari beras ketan antara lain : Jadah, wajik,
rengginan dan sebagainya.
·
Menurut
naluri makanan tersebut mengandung makna sebagaimana sifat dari bahan baku
ketan yang banyak glutennya sehingga lengket dan diharapkan kelak kedua
pengantin dan antar besan tetap lengket (pliket,Jawa).
·
Setelah
lamaran diterima kemudian kedua belah pihak merundingkan hari baik untuk
melaksanakan upacara peningsetan. Banyak keluarga Jawa masih melestarikan
sistem pemilihan hari pasaran pancawara dalam menentukan hari baik untuk
upacara peningsetan dan hari ijab pernikahan.
Peningsetan Kata peningsetan adalah dari kata dasar singset
(Jawa) yang berarti ikat, peningsetan jadi berarti pengikat.
Peningsetan adalah suatu upacara penyerahan sesuatu sebagai
pengikat dari orang tua pihak pengantin pria kepada pihak calon pengantin
putri.
Menurut tradisi peningset terdiri dari : Kain batik,
bahan kebaya, semekan, perhiasan emas, uang yang lazim disebut tukon (imbalan)
disesuaikan kemampuan ekonominya, jodang yang berisi: jadah, wajik, rengginan,
gula, teh, pisang raja satu tangkep, lauk pauk dan satu jenjang kelapa yang
dipikul tersendiri, satu jodoh ayam hidup. Untuk menyambut kedatangan ini
diiringi dengan gending Nala Ganjur .
Biasanya penentuan hari baik pernikahan ditentukan bersama
antara kedua pihak setelah upacara peningsetan.
Melamar dibagi dalam 3 kategori lamaran yaiutu :
a. Lamaran Informal
Dalam hal ini calon mempelai pria
datang ke rumah orang tua calon mempelai wanita sendiri dan menyatakan
keseriusan, kesiapan ( ekonomi ), niat dan tekad yang tulus untuk menikahi
calon mempelai wanita dengan kesungguhan cinta dan agama. Disini Calon mempelai
Pria kemudian membicarakan dan meminta konfirmasi waktu (jam, hari dan tanggal)
kepada orang tua calon mempelai wanita untuk melaksanakan Lamaran Semi Formal
selanjutnya.
b. Lamaran Semi Formal ( Tembungan )
Menggelar acara ini Calon mempelai
Pria datang ( sesuai konfirmasi waktu yang telah ditentukan sebelumnya ) dengan
didampingi oleh kedua orang tua, kerabat dan saudara-saudara ( dalam hal ini,
bisa hanya saudara / kakak laki laki/ orang yang dituakan dalam adat jika kedua
orang tua sudah meninggal). Kemudian Orangtua dari Calon mempelai Pria
menanyakan apakah putri tersebut ( Calon Mempelai Wanita) belum mempunyai/
tidak mempunyai suami untuk dijadikan istri dan menantunya kepada Orangtua
Calon mempelai Wanita. Setelah mendapat jawaban dari Orang tua Calon mempelai
wanita bahwa Putri tersebut belum/tidak mempunyai suami kemudian ditentukan
waktu ( jam, hari dan tanggal ) Pernikahan. Biasanya Waktu pernikahan ( Hari
Pernikahan ) dihitung dan ditentukan selanjutnya, supaya tidak terjadi salah
paham antara kedua belah pihak. Adapula, penentuan Hari Pernikahan digelar lagiAcara
Balasan Lamaran yaitu Orangtua mempelai Wanita datang bersilaturahmi
ke rumah Orangtua Pria bersama kerabat dan saudara-saudaranya untuk memberitahukan
jawaban dan tanggal pernikahan. Dalam menggelar acara - acara tersebut biasanya
ada perjamuan makan ( kalo jaman dulu tidak ada makan besar , hanya makanan
kecil sebagai camilan karena lamaran belum tentu diterima). Ada juga Lamaran
semi Formal ini diadakan Tukar Cincin (Tunangan), yang berarti pengikatan
hubungan antara kedua Calon mempelai sebelum melaksanakan Prosesi Pernikahan
supaya tidak ada Pria lain yang datang melamar. Acara Lamaran dan Acara Balasan
Lamaran biasanya membawa oleh-oleh berupa ; beras ketan / lemper / wajik /
jenang sebagai simbol/lambang yang harapannya agar kedua Pihak lengket, lauk
pauk, gula , teh, kopi. Ada juga sekarang yang bawa oleh-oleh roti dan juga
buah-buahan. Dalam Acara lamaran ini biasanya tidak diikuti oleh orang banyak,
hanya keluarga inti dan kerabat dekat saja.
c. Lamaran Formal ( Peningsetan )
Setelah
terjadi kesepakatan Hari Pernikahan, digelar acara Lamaran Formal yang diadakan
malam menjelang pernikahan ( Ijab qobul ) atau beberapa saat sebelum acara
pernikahan ( Ijab Qobul ) dimulai. Dalam menggelar acara Lamaran ini biasanya
disaksikan oleh orang tua, aparat desa setempat, kerabat, saudara-saudara dan
tetangga dari kedua belah pihak. Prosesi Lamaran Formal ini dari Pihak Calon
Mempelai Pria membawa barang bawaan yang biasa kita sebut hantaran atau
seserahan sebagai tanda keseriusan untuk membina rumah tangga kepada Pihak
Calon Mempelai Wanita. Hantaran atau seserahan atau Peningset (Jawa ) adalah
sejumlah barang kebutuhan Mempelai Wanita ( atau apa yang diminta Mempelai
Wanita ) yang menunjukan kemampuan Pria untuk membahagiakan Calon mempelai
wanita dan bisa juga sebagai paket syarat pernikahan . Masing-masing barang
hantaran merupakan simbol, dan ada makna / arti tersendiri menurut adat istiadat
masing - masing daerah. Jumlah barang Hantaran tidak ditentukan tergantung
kemampuan Pria. Kemasan barang-barang hantaran sangat beragam yang penting
rapi, bagus dan menarik, bahkan ada pula yang unik. Dalam hantaran ini jika ada
Pelangkah (Sesuatu atau barang yang diminta oleh kakak calon mempelai
wanita/pria yang belum menikah ) harus dibawa serta, sebagai simbol / lambang
menghormati kakak, mendahului kakak, dan kakak tersebut menyetujui.
Adapun pernik-pernik hantaran / Peningset Adat Jawa Tengah biasanya adalah
sebagai berikut ;
1. Cincin kawin
2. Seperangkat Alat Sholat ( Islam )
3. Sejumlah Uang
4. Pakaian dan sepatu/ sandal
5. Bahan kebaya, tas pesta dan sepatu pesta
6. Kain ( adat Jawa : jarik ) untuk mempelai wanita
7. Kosmetik
8. Seperangkat perlengkapan mandi
9. Buah-buahan
10. Sanggan ( Pisang Raja )
11. Roti
12. Makanan Khas ( Lemper, Jenang dll )
13. Ayam jago
14. Gula dan teh
15. Beras
- Jika nenek / kakek masih ada diwajibkan bawa Kain ( jarik ) kalo dalam bahasa
Jawa disebut Pesing.
- Jika ada kakak yang belum menikah dibawakan juga Pelangkah- nya.
Semua ini tergantung kemampuan Pria, tidak membawapun tidak apa-apa , asal
Pihak wanita menerima apa adanya, semua pasti lancar, asal yakin dan selalu
berdoa pada Tuhan... Tapi kalo gak bawa apa - apa ya... kebangetan he..he..he..
Jika Acara lamaran ini sudah selesai, maka siap untuk menggelar acara
selanjutnya, yakni ijab Qobul dan Pesta Pernikahan. Semoga Sukses.
Satu hari sebelum upacara ijab, dilaksanakan upacara siraman. Kata
siraman berasal dari Kata siram yang berarti mandi. Siraman mengandung arti
rnemandikan calon pengantin yang disertai dengan niat membersihkan diri agar
menjadi bersih dan murni/suci lahir batin. Pada zaman dulu upacara
siraman selalu dilaksanakan pada pagi hari antara pukul 10.00 sampai pukul
11.00. Dewasa ini upacara siraman biasanya dilaksanakan pada sore hari,
sekitar pukul 16.00 karena dapat langsung dilanjutkan dengan upacara
midadareni.
Upacara siraman biasanya dilakukan oleh para pinisepuh atau orang-orang yang
telah tua dan dituakan, terutama orang yang telah mempunyai cucu atau
setidak-tidaknya orang tua yang telah berputra dan mempunyai budi perilaku yang
dapat dijadikan teladan karena akan diminta berkahnya.
Untuk upacara siraman sebetulnya jumlah orang yang akan memandikan
tidak dibatasi, semakin banyak semakin baik asal jumlahnya ganjil. Namun untuk
menjaga agar calon pengatin tidak kedinginan maka jumlah orang yang akan
memandikan ditetapkan pitu (tujuh orang) yang berarti pitulungan. Siraman ini
akan diakhiri oleh juru rias atau sesepuh (orang yang dituakan) dengan memecah
kendi/klenthing dari tanah liat.
Perlengkapan dan Sajen Upacara Siraman
Perlengkapan yang perlu disediakan dalam upacara siraman terdiri
atas:
a. Air dari sumber
Air bersih dari sumber dipakai untuk
memandikan calon pengantin agar menjadi murni/suci dan bersih lahir batin. Hal
ini merupakan persiapan untuk menyambut kedatangan sang bidadari yang akan
turun dari kahyangan (surga) untuk memberkan doa restu dan ikut
mempercantik putrinya yang akan melangsungkan pernikahan.
b. Kembang Setaman (bunga sritaman)
Kembang
setaman merupakan bunga-bunga yang tumbuh di taman seperti mawar, melati,
kanthil dan kenangan. Bunga-bunga ini ditaburkan ke dalam air yang akan dipakai
untuk supaya menjadi harum.
c. Konyoh Manca Warna
Konyoh
merupakan lulur/bedak basah yang dibuat dari tepung beras dan kencur serta
bahan pewarna. Manca atau panca (lima) warna (warna maksudnya lima macam warna.
Jadi Konyoh Manca Warna artinya lulur yang terdiri dari lima macam warna,
meliputi merah, kuning, hijau, biru dan putih. Konyoh ini berfungsi sebagai
sabun yang dapat menghaluskan tubuh,
d. Landha merang, santan kanil, air asem
Landha
merang (abu merang yang direndam dalam air) yang berfungsi sebagai shampo,
sanatan kanil (air perasan parutan kelapa yang kental) yang berfungsi untuk
menghitamkan rambut dan air asem digunakan sebagai conditioner. Apabila ingin
praktis dapat diganti dcngan shampo dan conditioner yang banyak dijual di
pasaran.
e. Dua butir kelapa yang sudah tua
Kedua
kelapa ini sebagian sabutnya diikat menjadi satu dan dimasukkan ke
dalam air yang sudah ditaburi kembang setaman.
f. Alas Duduk
Alas
duduk calon pengantin dalam upacara siraman terdiri dari:
Klasa bangka, yaitu tikar berukuran sekitar setengah meter persegi yang
terbuat dari pandan
Sehelai mori(kain putih) dan sehelai kain.
Daun-daunan yang terdiri dari daun kluwih, daun kara, daun apo-apo. daun
awar-awar daun turi, daun dhadhap srep, alang-alang, dan duri kemarung.
Dlingo bengle
Empat macam kain motif bango tulak, yaitu kain yang tengahnya berwarna
putih dan tepinya berwarna tua yaitu biru tua, kunjng, hijau, dan merah.
Sehelai kain motif yuyu sekandang, yaitu kain lurik tenun berwarna
coklat bergaris-garis berwarna kuning.
Sehelai kain motif pulo watu, yaitu kain lurik berwarna putih
berlerek/bergaris hitam.
Sehelai kain letrek berwarna kuning
Sehelai kain jingga atau berwarna merah tua.
g. Sehelai mori berukuran dua meter Kain putih
palos ini dikenakan pada saat upacara siraman dan kain batik untuk alas sebelum
memakai mori.
h. Sehelai kain motif grompol dan sehelai kain motif nagasar
Kain motif rompol dan nagasari ini bisa diganti dengan motif Iain yang juga
bermakna positif (baik), misalnya: motif sidamukti, sidaasih, semen raja, semen
rama, sidaluhur.
i. Sabun dan handuk Dimaksudkan untuk membersihkan dan
mengeringkan badan.
j. Kendhi atau klenthing Kendi ini berisi air bersih yang
digunakan untuk menutup dan mengakhiri upacara siraman.
k. Sajen Siraman
Sajen siraman meliputi :
Tumpeng robyong
Tumpeng gundhul
Dahar asrep-asrepen
Satu sisir pisang raja dan satu sisir pisang pulut masing-masing berjumlah
genap.
Buah-buahan lengkap (pala gumantung, pala kependem direbus, dan pala
kesampar).
Empluk-empluk diisi bumbu dapur lengkap
Satu butir telur ayam karnpung
Satu butir kelapa yang sudah dikupas
Satu tangkep (tangkup) gula kelapa
Juplak/damar/pelita, sama dengan sajen tarub
Kembang telon (kanthil, melati, kenanga)
Tujuh macam jenang-jenangan
Jadah jenang dodol, wajik, kacang tanah yang masih ada kulitnya direbus
Satu ekor ayam jantan.
Ayam jantan sebagai syarat Sajen siraman dan kerik ini setelah selesai
dapat diberikan kepada periasnya
Pelaksanaan Upacara
Siraman
Upacara Siraman yang berlaku untuk calon pengantin pria dan wanita
(pelaksanaannya di rumah masing-masing) ini merupakan suatu lambang dan harapan
agar calon pengantin menjadi suci, bersih dan bercahaya. Perlengkapan yang
rnenyertai rangkaian upacara siraman juga merupakan suatu lambang yang
masing-masing mempunyai makna yang sangat mendalam. Misalnya bunga Sritaman
yang ditaburkan ke dalam air yang akan dipakai untuk siraman mengandung arti
agar keharuman yang dimiliki bunga siraman tersebut akan meresap ke tubuh calon
pengantin hingga menjadi harum tubuhnya dan kelak dapat membawa keharuman nama keluarga
di tengah masyarakat. Sedangkan konyoh manca warna: mengandung arti bahwa
dengan lima macam Konyoh yang digosok-gosokkan ke tubuh pada saat siraman maka
diharapkan bermacam-macam cahaya bersinar menjadi satu dan meresap kc dalam
tubuh calon pengantin sehingga tampak antik dan mempesona. Sementara dun butir
kelapa Hijau tua yang diikat menjadi satu mengandung makna agar kelak kedua
mempelai selalu hidup rukun dan tetap hidup berdampingan sampai akhir hayat
atau hidup rukun sampai kaken-kuken ninen-ninen.
Adapun upacara siraman sebagai berikut:
Bunga sritaman ditaburkan ke dalam bak air. Air
yang dipakai untuk siraman dapat berupa air dingin tetapi dapat pula diganti
dengan air hangar agar sang calon pengantin tidak kedinginan. Air tersebut
dapat dimasukkan ke dalam pengaron (bejana dari tanah liat sebagai tcmpat untuk
mcnampung air). Selanjutnya dua butir kelapa yang masih ada sabutnya diikat
menjadi satu lalu dimasukkan ke dalam air tersebut.
Calon
pengantin yang telah mengenakan busana siraman dcngan alas kain dan
bagian
luar memakai kain putih (mori), dcngan rambut terurai, dijemput
oleh orang
tua dari kamar pengantin dan dibimbing ke tempat upacara siraman.
Di
belakang mereka mengiringi para pinisepuh serta petugas yang
membawa baki
berisi seperangkat kain yang terdiri dari sehelai kain motif
grompol,
sehelai kain motif nagasari, handuk dan pcdupan. Seperangkat kain
dan
handuk tersebut digunakan setelah upacara siraman selesai. Setelah
sampai
di tempat upacara calon pengantin dibimbing dan dipcrsilahkan
duduk
di tempat yang telah disediakan oleh kedua orang
tua.
Setelah
diawali dcngan doa menurut kepercayaan masing-masing, orang tua
calon
pengantin mengawali mengguyur atau menyiram calon pengantin dcngan
air
bersih dari pengaron yang telah ditaburi bunga siraman dan berisi
dua
butir kelapa hijau yang digandeng. Orang tua calon pengantin yang
lebih
dahulu mengguyur adalah ayah, kemudian ibu. Pada saat mengguyur
sebaiknya
diiringi doa yang diucapkan dalam hati Pada saat mengguyur diiringi
menggosokkan konyoh manca warna dan landha merang; kemudian
diakhiri
dcngan guyuran tiga
kali.
Upacara
Siraman ini diakhiri dan ditutup oleh juru paes atau bisa juga oleh
sesepuh yang ditunjuk. Cara mengakhiri upacara ini sebagai berikut:
·
Pertama-tama juru paes/sesepuh mencuci rambut dcngan Landha
merang, santan kanji dan air asem (sebagai conditioner) serta
menggosok-gosokkan konyoh manca warna ke seluruh tubuh dan memandikannya sampai
sungguh-sungguh bersih. Setelah bersih calon pengantin
meletakkan kedua tangannya di depan dada dcngan sikap nyadhong donga (memohon
dalam doa) dan juru paes menuangkan air kendi agar digunakan untuk berkumur.
Hal ini dilakukan tiga kali.
·
Selanjutnya juru paes mcngguyurkan air kendi ke kepala calon
pengantin tiga kali.
·
Kemudian air kendi dituangkan lagi untuk membersihkan
wajah, telinga, leher, tangan dan kakai. Masing-masing dilakukan tiga
kali, sampai air kendi habis.
·
Setelah kendi tersebut kosong, selanjutnya juru paes/scscpuh
mengucapkan kata-kata: Wis Pecah pamorc (sudah berakhir masa remajanya) sambil
memecah kendi di depan calon pengantin dan disaksikan oleh orang tua dan para
pinisepuh.
Setelah upacara tersebut berakhir calon pengantin berganti dcngan mengenakan
kain motif Grompol dan menutup badan dcngan kain motif nagasari. Selanjutnya
dibimbing oleh kedua orang tua dan diiringi para pinisepuh menuju ke kamar
pengantin. Kedua kain motif grompol dan motif nagasari tersebut dapat diganti
dcngan motif lain yang mempunyai makna baik. Pada zaman dulu upacara siraman
dilaksanakan di kamar mandi, sedangkan sekarang bisa dilaksanakan di tempat
lain yang dirancang dihias secara khusus.
Hubungan cinta kasih wanita dengan pria,
setelah melalui proses dan pertimbangan , biasanya dimantapkan dalam sebuah
tali perkawinan, hubungan dan hidup bersama secara resmi selaku
suami istri dari segi hukum, agama dan adat.
Di Jawa seperti juga ditempat
lain, pada prinsipnya perkawinan terjadi karena keputusan dua insan yang
saling jatuh cinta.Itu merupakan hal yang prinsip. Meski ada juga perkawinan
yang terjadi karena dijodohkan orang tua yang terjadi dimasa lalu.Sementara
orang-orang tua zaman dulu berkilah melalui pepatah : Witing tresno
jalaran soko kulino, artinya : Cinta tumbuh karena terbiasa.
Di Jawa dimana kehidupan kekeluargaan
masih kuat, sebuah perkawinan tentu akan mempertemukan dua buah keluarga besar.
Oleh karena itu, sesuai kebiasaan yang berlaku, kedua insan yang
berkasihan akan memberitahu keluarga masing-masing bahwa mereka telah
menemukan pasangan yang cocok dan ideal untuk dijadikan suami/istrinya.
Perkawinan merupakan hak dan sunnah
kehidupan yang harus dilalui oleh seseorang dalam kehidupan
"normalnya". Setiap manusia dewasa yang sehat secara jasmani dan
rohani pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis kelaminnya. Teman
hidup itu diharapkan dapat memenuhi hasrat biologisnya, dapat dikasihi dan
mengasihi, serta dapat diajak bekerja sama mewujudkan sebuah rumah tangga yang
tentram, dan sejahtera.
Dalam Bahasa Arab perkawinan disebut dengan nikah yang berarti berkumpul
menjadi satu. Karena itu nikah secara istilah seringkali diartikan sebagai
suatu aqad yang berisi pembolehan melakukan hubungan seksual dengan menggunakan
lafal inkahin (menikahkan) atau tazwijin (mengawinkan) (Rasjid: 2004, 174).
Peristiwa hukum berupa pernikahan dalam agama Islam dianjurkan dengan berbagai
bentuk, mulai penyebutan sebagai sunnah para nabi dan rasul yang harus diikuti
oleh setiap insan beriman atau sebagai bentuk ayat (tanda-tanda) kebesaran
Allah.
Diantara bukti telah sahnya sebuah
hubungan perkawinan adalah diselenggarakannya acara resepsi perkawinan atau
walimah. Pesta perkawinan ini mengambil bentuk atau formatnya sendiri yang
berbeda-beda di setiap daerah. Di Ponorogo, yang paling populer adalah resepsi
perkawinan yang menggabungkan budaya jawa dan Islam sekaligus sebagai bukti
telah terjadinya “dialog budaya”, adaptasi, dan akulturasi (peleburan) di
dalamnya.
Pembahasan tentang resepsi perkawinan di
Ponorogo dapat dianggap penting mengingat belum pernah dilakukannya penelitian
tentang hal ini disamping terjadinya perkembangan dan dinamika dalam
penyelenggaraan resepsi perkawinan adalah fenomena menarik untuk dicermati.
Pembahasan difokuskan pada resepsi perkawinan model Islam-Jawa terutama pada
acara Panggih/Temu Temanten, dinamika bentuk resepsi, hiasan, simbol-simbol
yang digunakan serta pemaknaan terhadap semua hal yang berkaitan
dengannya.
Panggih Temanten atau temu manten dalam
perkawinan dengan adat Jawa-Islam memiliki “pakem” tertentu baik dalam ritual
adat, susunan acara resepsi, maupun hiasan dan simbol yang digunakan. Dalam
perkembangan terakhir didapati adanya upaya penyesuaian terhadap kemajuan zaman
dan efisiensi waktu dalam penyelenggaraan.
Penyederhanaan ritual adat dilakukan
dengan “pemangkasan” ritual. Sedangkan penyederhanaan dalam resepsi dilakukan dengan
penggabungan antara beberapa acara seperti atur mangayu bagya (sambutan selamat
datang) dengan atur panampi menjadi satu acara .
Simbol-simbol dan hiasan perkawinan yang
kaya makna juga mengalami hal yang sama. Penyesuaian terhadap mode dan efisiensi
acara turut mempengaruhi penampilannya. Disamping itu upaya islamisasi turut
mempengaruhi pemaknaan dengan sudut pandang berbeda disamping juga menghadirkan
paduan baru dalam bentuk dan corak.
Makna dalam simbol-simbol dan hiasan
dalam perkawinan adalah kekayaan budaya yang memberikan banyak pelajaran hidup.
Upaya untuk menggali dan mensosialisasikannya merupakan hal urgen untuk
melestarikan budaya tersebut. Upaya-upaya kontemporer untuk menyederhakan
ritual dan resepsi pernikahan juga akan tidak menjadi lepas sekaligus begitu
saja meninggalkan budaya ini jika makna-makna tersebut dipahami dan
tersosialisasi dengan baik. Wallahu a’lam.
4. Bubak
Kawah
Ayah pengantin putri, sesudah upacara Panggih, minum rujak degan/
kelapa muda didepan krobongan.
Istrinya bertanya : Bagaimana Pak rasanya? Dijawab : Wah segar
sekali, semoga orang serumah juga segar. Lalu istrinya ikut mencicipi minuman
tersebut sedikit dari gelas yang sama, diikuti anak menantu dan terakhir
pengantin wanita. Ini merupakan perlambang permohonan supaya pengantin segera
dikaruniai keturunan.
1.
Pengertian
Secara bahasa Bubak berarti mbukak ( membuka ), kawah artinya adalah air yang
keluar sebelum kelahiran bayi, sedang secara istilah bubak kawah berarti :
membuka jalan mantu atau mantu yang pertama ( Poerwadarminta, 1939 : 51 &
Sudaryanto & Pranowo, 2001 : 123 ). Sutawijawa dan Yatmana ( 1990 : 25 )
menyatakan bahwa bubak kawah adalah upacara adat yang dilaksanakan ketika orang
tua mantu pertama atau terakhir, mantu pertama disebut tumpak punjen, sedang
mantu terakhir disebut tumplak punjen.
Dan Drs. Suwarna Pringgawidagda, M.Pd. menyimpulkan dari kedua pendapat
tersebut : bahwa bubak kawah adalah upacara adat yang dilaksanakan ketika orang
tua mantu pertama, khusus untuk pengantin jaka lara ( perjaka-gadis ) pada
mantu yang pertama ( tidak harus mantu anak sulung ). ( Tata Upacara dan
Wicara, Acara-acara Khusus Bab 10, Kanisius 2006 : 276 ).
2.
Tujuan dan makna
Beberapa tujuan dari pada upacara bubak kawah
ini adalah sebagai berikut :
·
Pernyataan syukur kepada Tuhan YME, bahwa
telah dapat mengawali mantu.
·
Permohonan kepada Tuhan agar pengantin
diberikan kekuatan, kesegaran jasmani dan rohani, ayem tentrem.
·
Harapan agar pengantin di karuniai anak.
·
Menunjukan tanggung jawab orang tua terhadap
putrinya, walaupun susah payah untuk melaksanakan perhelatan, tetapi badan dan
pikiran tetap segar bugar seperti segarnya rujak degan yang di sajikan.
·
Menunjukan kepada kerabat tamu bahwa ini
perhelatan mantu yang pertama.
3. Pelaksanaan
Setelah panggih, pengantin berjalan menuju ke
pelaminan untuk duduk bersanding :
·
Pengantin duduk berdua di pelaminan.
·
Bapak – ibu mengambil rujak degan dan rujak
tape.
·
Bapak terlebih dahulu mencicipi rujak degan
dan rujak tape, kemudian ibu, ketika bapak minum rujak degan dan rujak tape ada
dialog singkat sebagai berikut :
Ibu
: “ Pak,, kepiye mungguh rasane rujak degan
lan rujak tape..??”
( “ Pak..bagaimana rasa rujak kelapa muda dan rujak tapenya..? )
Bapak : “
Bu..Rasane seger sumyah, muga-muga warata sak omah..! “
( “ Bu..Rasanya sangat segar,
semoga merata bagi seluruh anggota keluarga.! )
·
Kemudian ibu mencicipi rujak degan dan rujak
tape.
·
Ibu dan bapak menghampiri pengantin, kemudian
ibu menyuapi rujak degan dan rujak tape kepada mempelai berdua.
·
Setelah selesai, bapak ibu kembali ke tempat
duduk.
·
Kemudian di lanjutkan acara tanpa kaya,
dhahar klimah, ngunjuk toya wening, mapag besan dan sungkeman.
Tumplak punjen atau tumpak
punjen adalah salah satu dari
rangkaian prosesi upacara pernikahan adat Jawa. Tumplak berarti menuang, punjen berarti pundi-pundi atau hasil dari
usaha yang dikumpulkan. Acara tumplak
punjen ini dilakukan orang
tua hanya pada pernikahan terakhir anaknya, dalam hal ini tidak harus si
bungsu. Cekaking atur bilih upacara TUMPLAK PUNJEN punika satunggaling
kabudayan Jawi ingkang adi luhung, liripun upacara punika mengku sasmita,
antawisipun.
a.
Dados srana donga pamuji atur panuwun wonten ngarsa Dalem Pangeran
b.
Dados srana nelakaken raos bingahing manah, awit saged nuntasaken
tugas lan kewajiban jejering tiyang sepuh ( saged peputra, lan saged
nggulawenthah,lan mala kramakaken para putra )
c.
Dados srana anggenipun saged mbagi kabingahan dumateng para putra
tuwin para kadang kinasih, inggih sedherek lan tangga tepalih
d.
Dados srana pangajabing tiyang sepuh,.mligi kangge para putra
wayah, kanthi mbagi udhik-udhik
e.
Tumrap para putra wayah dados srana anggenipun sami nelakaken raos
bingah bilih rama ibu kaparingan panjang yuswa
Dalam khasanah budaya Jawa, orang tua mempunyai tugas atau
kewajiban yang harus dilaksanakan kepada anaknya. Pertama kali adalah memberikan nama pada anak.
Dalam filosofi Jawa ada ungkapan asma
kinaryo japa (nama membawa
makna/doa). Orang tua menaruh harapan pada anaknya lewat nama atau doa untuk
anaknya. Menilik dari pengertian tadi maka ungkapan Shakespere tentang apalah
arti sebuah nama jelas tidak berlaku pada masyarakat Jawa. Kedua adalah nggulawentah atau mendidik. Orang tua harus
membekali anak dengan kaweruh
(knowledge) dansubasita
(attitude) yang baik serta
berguna sebagai pedoman untuk berkehidupan dalam masyarakat. Ketiga adalah ngemah-emahake atau menikahkan. Setelah si anak
menginjak dewasa dan dirasa sudah cukup pengetahuannya tentang hidup maka
orang tua harus mencarikan jodoh yang baik untuk si anak tersebut berdasarkan bibit, bebet, dan bobot-nya.
Dalam hal ini si anak juga bisa mencari calon pasangannya sendiri.
Di saat orang tua melangsungkan pernikahan anaknya yang
terakhir inilah upacaratumplak punjen dilakukan sebagai tanda telah
selesainya kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya. Punjen secara simbolis diwujudkan dengan
bunkusan berisi uang (jumlah bungkusan disesuaikan dengan jumlah anak, menantu,
cucu serta buyutdan
seterusnya), beras kuning, bumbu dapur atau rempah-rempah, dan sejumlah
uang logam. Punjen adalah simbol dari harta benda hasil
jerih payah orang tua dari sejak berumah tangga dulu.
Acara ini dimulai dengan memanggil seluruh anaknya urut
dari yang tertua sampai terakhir yang diikuti keluarganya masing-masing.
Kemudian orang tua secara berurutan memberikan bungkusan-bungkusan tadi kepada
anak, menantu dan keturunannya. Ini adalah teladan orang tua kepada
anak-anaknya tentang nilai kerelaan, tidak suka merebut hak orang lain dan,
bahwa semua hasil jerih payahnya diberikan dengan adil agar anak keturunannya
memahami panduming dumadi,
yakni manusia hidup di dunia sudah ada yang mengatur semua. Sebagai orang tua
kini mereka sudah tidak memerlukan lagi hal-hal yang bersifat keduniawian dan
berniat ingin lebih khusuk lagi menembah
marang Gusti.
Tumplak punjen adalah bentuk wejangan (nasehat) orang tua kepada anak
keturunannya agar dalam menjalani hidup berkeluarga untu selalu; Rajin bekerja agar bisa terkumpul hasilnya dan Amanah, dilambangkan
dengan bungkusan pemberian orang tua yaitu hasil jerih payah orang tua. Menjaga Kesehatan,
dilambangkan dengan rempah-rempah. Menjaga
kebahagiaan, dilambangkan dengan beras kuning.Mempunyai sifat
ikhlas, dilambangkan dengan uang receh logam. Tidak merebut hak orang lain dan suka
menolong, dilambangkan dengan keseluruhan bungkusan berserta isinya
yang tidak disebarkan untuk dijadikan bahan rayahan atau rebutan melainkan dibagikan
secara berurutan dan tertib.
Dalam hidup bersosial masyarakat, tumplak punjen juga menjadi kode atau sandi tuan
rumah kepada tamu-tamunya yang belum tahu dan berniat mengajak besanan ,bahwa dia sudah tidak mempunyai anak
lajang lagi, berharap hal ini bisa diberitahukan pada warga lainnya yang juga
belum mengetahuinya.
Selesai sudah tugas sebagai orang tua dan kini mereka akan
menjalani kehidupan baru minandhita atau ngadeg
pandhita (menanggalkan
segala sifat keduniawian untuk menyatukan rasa dengan penciptanya) yaitu
sebagai tempat ngangsu
kaweruh(petunjuk) tentang hidup dan kehidupan bermasyarakat bagi
anak keturunannya nanti.
Pramila tradisi punika satunggal pemut dumateng
sok sintena, nalika sami nnampi kanugrahan inggih punika GESANG. Mila ujaring
para winasis tradisi adat punika sageda dados tuntunan, totonan, sumrambahipun
mligi kagem para putra wayah anggenipun nelakaken kabungahan wekdal semanten.
Pramila wonten ingkang adicara tumplak punjen,
tatalaksitaning upacara sarta ubarampe dados lambang ingkang kebaging samudana.
Kados:.
1.
Sungkeman para putra, kinarya pratanda anggenipun caos bekti, saha
anggenipun ngurmati dumateng rama lan ibunipun
2.
Paringipun anggi-anggi dhumateng para putra, kinarya tanda
anggenipun rama-ibu anglintiraken kabingahan lan kabegjanipun
3.
Nyebar udhik-udik kinathi tanda anggenipun tresna asih dumateng
para wayah-wayahipun
Yen miturut gotheking ngakathah bilih upacara
tumplak punjen ugi dados srana paring pusaka adi, tumusing anggenipun paring
sabdatama kados ingkang dipun paringaken Rama Ibu Prop Dr. Bambang
Sumiarto dumateng para putra-putrinipun ing wanci punika, kinanthi candra
sengkala , “ARUM ILANG TANPA NETRA”. Ingkang mengku werdi, bilih kasaenan
ingkang sampun kawentar, datan wurung badhe ical tanpa lari jer boten
linambaran saking telenging manah. Mula lajeng tumusing piweling:
a.
NGLUHURNA MRING AllAHIRA
b.
NGLUHURNA WONG TUWANIRA
c.
AJA LALI MARANG SEDULURIRA
d.
TUMINDAK,TUMANDUK MRIH ARUMING BUDI
e.
JAGANEN JEJEGING KAUTAMAN
( Gesang kedah ngluhuraken Allah, tiyang sepuh,
sederekipun sumrambah ing sesami. Tuwin tansah ngupadi jejeging kautaman)
Ubarampe Upacara:
Anggi-anggi punika wujudipun: arta, wujud wiji
kados upami uwos / beras, dhele, tholo, kacang ijo lan jagung, sarta kunir (
kaparut), dlingo bengle kairis-iris, lan sekar setaman. ingkang dipun lebetaken
kanthong utawi srana sanesipun
Dene anggi-anggi kapilah dados kalih:
1.
ingkang dipun wadhahi kanthong, mligi kagem para putra lan putra
mantu, sarta putra ragil ingkang krama wekdal semanten
2.
ingkang dipun wadhahi bokor/cupu , mligi kagem para wayah, sarta
ingkang mbetahaken
Tata upacaranipun
Tumplak Punjen
Upcara punika dipun tindakaken sasampunipun
upacara kacar-kucur dhahar klimah, nanging saderengipun sungkeman manten.
Dene urutanipun inggih punika:
a.
para putra lan putra mantu, sami sowan jengkeng lan sungkem rama
ibunipun
b.
yen sampun dipun sungkemi tiyang sepuh lajeng maringi kanthong
anggi-anggi wau,
c.
salajengipun tiyang sepuh maringaken dhateng putra ing nembe
krama. Ugi lumantar wakil ( putranipun ingkang dipun sepuhaken) maringi
sedherek-sedherekipun ingkang sampun dipun sametakaken
d.
kantun piyambah, maringaken anggi-anggi kagem para wayah,
kanthi cara anggi-anggi ingkang wonten cupu dipun sebaraken, para wayah sami
ngrayah. Kanthun piyambah cupu wau lajeng dipun tumplak (dipun kurepaken)
kanthi ngendika “WIS RAMPUNG” Dene anggenipun numplak ing jogan sangajenging
putra manten lenggah (siniwaka) , Inggih kanthi makaten numplak cupu/bokor
dados werdining upacara tumplak punjen
e.
salajengipun nembe methuk besan. Lajeng putra penganten sami
sungkem rama ibunipun.
Seperti yang kita mafhum bersama bahwa negeri kita Indonesia
merupakan sebuah negeri kepulauan yang tiap pulau terdapat berbagai macam
kebudayaan tradisional yang beraneka ragam. Di antara tradisi yang beragam itu
kita ingin membahas salah satu upacara adat yang terdapat di Jawa Tengah khususnya
Surakarta yang disebut dengan Tingkepan atau Mitoni. Upacara adat Tingkepan
atau Mitoni sendiri merupakan sebuah upacara adat yang dilaksanakan untuk
memperingati kehamilan pertama ketika kandungan sang ibu hamil tersebut
memasuki bulan ke tiga, lima dan puncaknya ke tujuh bulan. Adapun maksud dan
tujuan dari digelarnya upacara adat ini adalah untuk mensucikan calon ibu
berserta bayi yang di kandungnya, agar selalu sehat segar bugar dalam menanti
kelahirannya yang akan datang.
Kronologi singkat dari upacara tingkepan ini sendiri adalah
menggelar selametan pada bulan ketiga, lima dan kemudian puncaknya adalah pada
bulan ke tujuh sang ibu hamil pun menggelar sebuah prosesi upacara berupa
memandikan atau mensucikan calon ibu berserta bayi yang di kandung, agar kelak
segar bugar dan selamat dalam menghadapi kelahirannya.
Pertama-tama sang calon ayah dan calon ibu yang akan melakukan
upacara Tingkepan duduk untuk menemui tamu undangan yang hadir untuk
menyaksikan upacara Tingkepan ini di ruang tamu atau ruang lain yang cukup luas
untuk menampung para undangan yang hadir. Setelah semua undangan hadir maka
barulah kemudian sang calon ibu dan ayah inipun di bawa keluar untuk melakukan
ritual pembuka dari acara tingkepan itu sendiri yakni sungkeman. Sungkeman
adalah sebuah prosesi meminta maaf dan meminta restu dengan cara mencium tangan
sambil berlutut. Kedua calon ayah dan calon ibu dengan diapit oleh kerabat
dekat diantarkan sungkem kepada eyang, bapak dan ibu dari pihak pria, kepada
bapak dan ibu dari pihak puteri untuk memohon doa restu. Baru kemudian
bersalaman dengan para tamu lainnya.
Setelah acara sungkeman selesai barulah kemudian digelar upacara
inti yakni memandikan si calon ibu setelah sebelumnya peralatan upacara
tersebut telah dipersiapkan. Alat-alat dan bahan dalam upacara memandikan ini
sendiri adalah antara lain bak mandi yang dihias dengan janur sedemikian rupa
hingga kelihatan semarak, alas duduk yang terdiri dari klosobongko, daun lima
macam antara lain, daun kluwih, daun alang-alang, daun opo-opo, daun dadapserat
dan daun nanas. Jajan pasar yang terdiri dari pisang raja, makanan kecil, polo
wijo dan polo kependem, tumpeng rombyong yang terdiri dari nasi putih dengan
lauk pauknya dan sayuran mentah. Baki berisi busana untuk ganti, antara lain
kain sidoluhur; bahan kurasi; kain lurik yuyu sukandang dan morikputih satu
potong; bunga telon yang terdiri dari mawar, melati dan kenanga; cengkir gading
dan parang serta beberapa kain dan handuk.
Setelah semua bahan lengkap tersedia maka barulah kemudian si calon
ibu pun di mandikan. Pertama-tama yang mendapat giliran memandikan biasanya
adalah nenek dari pihak pria, nenek dari pihak wanita, dan kemudian barulah
secara bergiliran ibu dari pihak pria, ibu dari pihak wanita, para penisepuh
yang seluruhnya berjumlah tujuh orang dan kesemuanya dilakukan oleh ibu-ibu.
Disamping memandikan, para nenek dan ibu-ibu ini pun diharuskan untuk
memberikan doa dan restunya agar kelak calon bayi yang akan dilahirkan
dimudahkan keluarnya, memiliki organ tubuh yang sempurna (tidak cacat), dan
sebagainya.
Sementara itu, ketika calon ibu dimandikan maka yang dilakukan
oleh calon ayah berbeda lagi yakni mempersiapkan diri untuk memecah cengkir
(kelapa muda) dengan parang yang telah diberi berbagai hiasan dari janur
kelapa. Proses memecah cengkir ini sendiri hanya sekali ayun dan harus langsung
terbelah menjadi dua bagian. Maksud dari hanya sekali ayun dan harus langsung
terbelah ini sendiri adalah agar kelak ketika istrinya melahirkan sang anak
tidak mengalami terlalu banyak kesulitan. Setelah semua upacara itu terlewati,
langkah selanjutnya adalah sang calon ayah dan calon ibu yang telah melakukan
upacara tersebut pun diiring untuk kembali masuk kamar dan mengganti pakaian
untuk kemudian bersiap melakukan upacara selanjutnya yakni memotong janur.
Prosesi memotong janur ini sendiri adalah pertama-tama janur yang telah diambil
lidinya itu dilingkarkan ke pinggang si calon ibu untuk kemudian dipotong oleh
si calon ayah dengan menggunakan keris yang telah dimantrai. Proses memotong
ini sama seperti halnya ketika memecah cengkir, sang calon ayah harus memotong
putus pada kesempatan pertama.
Setelah selesainya upacara memotong janur ini pun kemudian
dilanjutkan dengan upacara berikutnya yakni upacara brojolon atau pelepasan.
Upacara brojolan ini sendiri adalah sebuah upacara yang dilakukan oleh calon
ibu sebagai semacam simulasi kelahiran. Dalam upacara ini pada kain yang
dipakai oleh calon ibu dimasukkan cengkir gading yang bergambar tokoh
pewayangan yakni Batara Kamajaya dan Batari Kamaratih. Tugas memasukkan cengkir
dilakukan oleh ibu dari pihak wanita dan ibu dari pihak pria bertugas untuk
menangkap cengkir tersebut di bawah (antara kaki calon ibu). Ketika cengkir itu
berhasil ditangkap maka sang ibu itu pun harus berucap yang jika dibahasa
Indonesiakan berbunyi, “Pria ataupun wanita tak masalah. Kalau pria, hendaknya
tampan seperti Batara Kamajaya dan kalau putri haruslah cantik layaknya Batari
Kamaratih.” Kemudian seperti halnya bayi sungguhan, cengkir yang tadi ditangkap
oleh ibu dari pihak pria ini pun di bawa ke kamar untuk ditidurkan di kasur.
Langkah berikutnya
yang harus dilakukan oleh calon ibu ini pun harus memakai tujuh perangkat
pakaian yang sebelumnya telah disiapkan. Kain-kain tersebut adalah kain khusus
dengan motif tertentu yaitu kain wahyutumurun, kain sidomulyo, kain sidoasih,
kain sidoluhur, kain satriowibowo, kain sidodrajat, kain tumbarpecah dan kemben
liwatan.
·
Pertama, calon ibu mengenakan kain wahyutumurun, yang maksudnya
agar mendapatkan wahyu atau rido yang diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.
·
Kedua, calon ibu mengenakan kain sidomulyo, yang maksudnya agar
kelak hidupnya mendapatkan kemuliaan.
·
Ketiga, calon ibu mengenakan kain sidoasih, maksudnya agar kelak
mendapatkan kasih sayang orang tua, maupun sanak saudara.
·
Keempat, calon ibu mengenakan busana kain sidoluhur, maksud yang
terkandung di dalamnya agar kelak dapat menjadi orang yang berbudi luhur.
·
Kelima, calon ibu mengenakan kain satriowibowo, maksudnya agar
kelak dapat menjadi satria yang berwibawa.
·
Keenam, calon ibu mengenakan busana kain sidodrajat, terkandung
maksud agar kelak bayi yang akan lahir memperoleh pangkat dan derajat yang
baik.
·
Ketujuh, calon ibu mengenakan busana kain tumbarpecah dan kemben
liwatan yang dimaksudkan agar besok kalau melahirkan depat cepat dan mudah
seperti pecahnya ketumbar, sedangkan kemben liwatan diartikan agar kelak dapat
menahan rasa sakit pada waktu melahirkan dan segala kerisauan dapat dilalui
dengan selamat.
Sambil mengenakan kain-kain itu, ibu-ibu yang bertugas merakit
busana bercekap-cakap dengan tamu-tamu lainnya tentang pantas dan tidaknya kain
yang dikenakan oleh calon ibu. Kain-kain yang telah dipakai itu tentu saja
berserakan dilantai dan karena proses pergantiannya hanya dipelorotkan saja
maka kain-kain tersebutpun bertumpuk dengan posisi melingkar layaknya sarang
ayam ketika bertelur. Dengan tanpa dirapikan terlebih dahulu kain-kain tersebut
kemudian dibawa ke kamar.
Prosesi selanjutnya sekaligus sebagai penutup dari rangkaian
prosesi upacara tersebut adalah calon ayah dengan menggunakan busana kain
sidomukti, beskap, sabuk bangun tulap dan belankon warna bangun tulip, dan
calon ibu dengan mengenakan kain sidomukti kebaya hijau dan kemben banguntulap
keluar menuju ruang tengah dimana para tamu berkumpul. Di sini sebagai acara
penutup sebelum makan bersama para tamu, terlebih dahulu dilakukan pembacaan
doa dengan dipimpin oleh sesepuh untuk kemudian ayah dari pihak pria pun
memotong tumpeng untuk diberikan kepada calon bapak dan calon ibu untuk dimakan
bersama-sama. Tujuan dari makan timpeng bersama ini sendiri adalah agar kelak
anak yang akan lahir dapat rukun pula seperti orang tuanya. Pada waktu makan
ditambah lauk burung kepodang dan ikan lele yang sudah digoreng.
Maksudnya agar kelak anak yang akan lahir berkulit kuning dan
tampan seperti burung kepodang. Sedangkan ikan lele demaksudkan agar kelak
kalau lahir putri kepala bagian belakang rata, supaya kalau dipasang sanggul
dapat menempel dengan baik. Usai makan bersama, acara dilanjutkan upacara
penjualan rujak untuk para tamu sekaligus merupakan akhir dari seluruh acara
tingkepan atau mitoni. Sambil bepamitan, para tamu pulang degan dibekali
oleh-oleh, berupa nasi kuning yang ditempatkan di dalam takir pontang dan
dialasi dengan layah. Layah adalah piring yang terbuat dari tanah liat.
Sedangkan, takir pontang terbuat dari daun pisang dan janur kuning yang ditutup
kertas dan diselipi jarum berwarna kuning keemasan
Tedhak sitèn utawa tedhak
siti iku salah siji upacara adat Jawa kanggo bocah umur 7 wulan
utawa 6 lapan.
Upacara iki ing dhaérah liya ing Nuswantara uga
ana, contoné sing diarani upacarainjak
tanah ing dhaérah Jakarta déning
suku Betawi utawa uga ana sing ngarani "mudhun lemah" lan "udhun-udhunan"
Tedhak sitèn iku asalé saka tembung tedhak,
idhak utawa mudhun lan sitèn (saka tembung siti) utawa lemah (bumi). Upacara
iki kanggo perlambang bocah sing siap-siap njalani urip liwat tuntunanwong tuwa lan
diselenggarakaké yèn umur bocah wis 7 selapan utawa
245 dina (7
x 35 = 245).
Sebabe
Dianakaké
Upacara Tedhak sitèn dianakaké
amarga ana kapitayan masyarakat Jawa yèn
lemah kuwi nduwéni makna ghoib lan
dijaga Bathara
Kala. Kanggo ngindari kadadéyan sing
ora becik, mula dianakakéupacara ngenalaké
putra-putriné marang Bathara Kala
minangka sing njaga lemah. Anggone nglakoni upacara iki, luwih becik
miturut weton.
Ubarampé
Upacara Tedhak Sitèn
Ubarampé kanggo upacara tedhak sitèn
akèh, kayata:
-
Kurungan,
kanggo nggambaraké yén donyané anak isih sithik utawa ciut.
Werna-werna
barang sing diséléhaké sajroning kurungan kang nggambaraké suwèné urip,
manungsa duwé kawajiban nggolèk "nafkah", kayata:
3. Piranti
nulis
4. Bokor kang
diisi beras kuning
5. Werna-werna
jinis dhuwit
6. "Perhiasan"
Klasa sing
isih anyar, kanggo lémèk ning jeroning kurungan.
Bakaran pitik,
kang nggambaraké pedoman uripé anak.
Tangga
tebu "rejuna", yaiku tebu sing wernané ungu kang nggambaraké
undhak-undhakané urip sing arep dilakoni anak.
Jadah pitung
werna, yaiku abang, putih, ireng, kuning, biru, ungu lan jambon.
Tegesé kanggo ngemutaké anak yén urip kudu waspada saka godaan
werna-werna.
Bancakan,
kayata sega gudhangan sing
dibagékake marang para tamu sing teka.
Urutané
upacara tedhak sitèn
Tedhak jadah pitung
warna: yaiku anak
mlangkah utawa ngidak jadah pitung warna kang diréwangi ngidak déning ibu,
jadah ditata saka warna sing padhang nganti warna sing peteng, iku kabèh
perlambang déné urip iku ora gampang nanging kabéh alangan sing dirasakake
mengko mesthi bakal ana dalan kang padhang tumuju kamulyan lan kasantosan.
Munggah
andha tebu arjuna: tebu iku
pralambang antebing kalbu, supaya anggoné nitih urip ning donya iki bakal
manteb lan tebu arjuna pralambang
supaya anak sing munggah tebu iku bisa duwéni solah bawa kaya déné arjuna.
Kurungan:
kurungan iku pralambang urip ing donya iki, ing jero kurungan diwénéhi
akèh dolanan lan ubarampé pagawéan kayata kertas, gunting, pethèt lan
liya liyané, dolanan utawa ubarampé pagawéan sing dipilih déning anak iku
kaya tandha bésuk bakal duwéni pagawéan mau.
Siraman:
kanggo nyucèni raga lan jiwa, muga muga bisa gawa jeneng arum kanggo
kaluwarga kayata banyu kembang
sing kanggo acara siraman anak
mau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar